Our Blog

Amir Nadapdap Tentang Demokrasi

Demokrasi untuk Indonesia, Mungkinkah?

Oleh: Amir Nadapdap

Syamsudin Haris, Sony Keraf, dan Fadjroel Rachman mungkin terkejut ketika area diskusi mereka tentang demokrasi Indonesia diperluas oleh I Wibowo dengan tulisannya Demokrasi untuk Indonesia? (Kompas, 8/10).

Ketiganya asyik mendiskusikan wajah dan bentuk masa depan demokrasi Indonesia dari latar depan, Wibowo justru memasuki arena itu dari latar belakang. Ia menyentak bahwa demokrasi hanya mempercepat kehancuran peradaban dengan merujuk contoh Afrika, Asia, dan Eropa.

Lewat penelitian World Values Survey pada 65 negara yang mencakup 75 persen penduduk dunia, Ronald Inglehart (2000) menguraikan hasil dalam Culture and Democracy yang antara lain memberi kesimpulan: keyakinan yang diecer ke mana-mana bahwa mengadopsi membuat rakyat menjadi sehat, bahagia, saling percaya, saling toleran, dan tidak mengutamakan kebendaan (post-materialist values) hanya semacam ilusi. Contohnya, ketika tahun 1991 rakyat di bekas negara Uni Soviet memilih hidup dengan pranata demokrasi, sampai hari ini mereka tidak lebih sehat, lebih bahagia, lebih saling percaya, dan lebih toleran.

Wajah demokrasi suatu negara tidak bisa diukur hanya dengan melihat apakah lembaga dan pranata demokrasi sudah eksis, sebab tidak jarang perebutan akses ke lembaga demokrasi itu justru gagal dipelihara dan difasilitasi demokrasi itu sendiri, seperti dicontohkan Wibowo pada kasus Afrika. Sehubungan itu studi kontemporer tentang demokrasi pendulumnya bergerak ke tradisi 1960-an (dikembangkan Gabriel Almond dan Sidney Verba) yang melihat kemampuan suatu masyarakat (negara) mengadopsi demokrasi berkaitan dengan faktor nilai, keyakinan, kepercayaan, tradisi, atau yang sering disebut dengan kebudayaan setempat. Bangkitnya kembali perspektif kebudayaan sebagai variabel peubah ditandai studi L Harrison Underdevelopment is a State of Mind. The Latin America Case (1985) yang menyatakan, hambatan utama pembangunan, termasuk pembangunan demokrasi, pada sebagian besar negara di Amerika Latin adalah kebudayaan.

Calos A Montaner (2000) dalam uraiannya Culture and the Behavior of Elites in Latin America mengatakan, Amerika Latin mengalami depresi maniak karena terperangkap empat penyakit tak kunjung sembuh, yakni kudeta silih berganti, hiper inflasi, ketidakstabilan berkepanjangan, dan pelarian modal. Begitulah, setelah lebih 150 tahun merdeka, negara di Amerika Latin gagal mengonsolidasi pranata demokrasi.

Bercermin pada pengalaman Amerika Latin, GM Foster tahun 1973 dalam publikasinya Traditional Societies and Technological Change mengemukakan ada nilai yang umum dimiliki masyarakat di negara berkembang yang bisa menghambat pencapaian kemajuan yang disebutnya dengan nama the image of limited good. Barang (good) yang terbatas jumlahnya itu bisa berupa barang ekonomi, persahabatan, cinta, kehormatan, penghargaan, kesehatan, bahkan kekuasaan.

Masyarakat yang punya konsepsi ini melihat bahwa "good" yang tersedia di sekitar mereka jumlahnya tertentu dan terbatas, tidak berkurang dan tidak bertambah. Kalau ada orang yang besar kekuasaannya, itu karena ia mengambil kekuasaan orang lain sehingga membuat orang lain hidup tertindas. Karenanya, kekuasaan yang berlebih itu harus diambil kembali agar terjadi keseimbangan. Dengan hati-hati kita bisa menduga, jangan-jangan kudeta pemerintahan yang silih berganti di kawasan Amerika Latin diwarnai konsepsi the image of limited good (TILG), sehingga wajar jika pranata demokrasi sulit berkembang.

Dalam tradisi Indonesia, tidak sulit menemukan TILG. Dikaitkannya kekayaan seseorang, misalnya dengan tuyul dan pesugihan, merupakan ekspresi nilai TILG. Orang yang kaya karena tuyul atau pesugihan, hidupnya tidak terhormat di masyarakat, bahkan cenderung diisolir karena ia mencuri rezeki sesama orang sekampung. Tapi kalau ada orang kaya mendadak karena korupsi, hidupnya justru terhormat di masyarakat sebab ia mencuri harta dari "negeri antah berantah" bukan dari "sesama orang sekampung".

Tinimbang mengatur pemanfaatan sumber daya dan pelayanan publik secara adil dan merata bagi semua kelompok masyarakat, maka kekuasaan di Indonesia cenderung dipakai untuk kepentingan penumpukan kekuasaan. Atribut penggumpalan kekuasaan adalah aksesori kebendaan yang dapat diakumulasi dan diteteskan sebagian untuk kelompok sendiri. Tetesan untuk kelompok lain tidak dipikirkan dan ditanggapi dengan gaya bahasa remaja: EGP, emang gua pikirin. Mereka yang nyinyir terhadap korupsi didelegitimasikan karena mereka tidak kebagian.

Kalau suatu negara didominasi sikap tidak saling percaya, tidak saling toleran, dan altruisme sosial rendah, dan sikap itu diperkuat kalau tidak berbasis pada etnosentrisme kebudayaan dan penegakan martabat dan kehormatan kelompok di atas segalanya, apakah mungkin masyarakat seperti ini bisa mengembangkan demokrasi? Tahun 1999 ketika Habibie menjabat presiden, saya kebetulan berada di desa di pinggiran Kota Solo, celetukan yang terdengar adalah; "Orang yang sedikit kok jadi presiden?" Inilah cermin mentalitas bangsa ini: kita boleh berdemokrasi kalau kami tetap memimpin; kita boleh tegakkan hukum, kalau kami tidak diusik; silakan pilih siapa gubernur atau ketua partai di daerah Anda, tapi harus orang kami.

Karena sudah mentradisi, masyarakat Indonesia kini pintar memplesetkan ironi kekuasaan dengan melahirkan peraturan tentang hubungan atasan-bawahan. Bunyinya: Pasal 1, bawahan harus tunduk patuh dan loyal pada atasan; Pasal 2, atasan tidak pernah melakukan kesalahan; Pasal 3, kalau atasan salah, lihat Pasal 1. Makna dan nilai di balik ironi kekuasaan ini adalah di masyarakat tidak tumbuh sikap disiplin, komitmen, dan tanggung jawab. Masyarakat, apalagi atasan, terbiasa mencari "kambing hitam".

Dengan nilai dan sikap kebudayaan yang kita lakoni dan wariskan sekarang ke generasi muda mungkinkah pranata demokrasi bisa berkembang di Indonesia, sekalipun semua elite, aktor, dan antek-antek Orde Baru ditinggalkan? Mengulang pertanyaan Wibowo: demokrasi untuk Indonesia, mungkinkah?

Kalau yang dituju adalah bagaimana mewujudkan kehidupan suatu bangsa yang bermartabat, berdaulat, berkebebasan, bukannya sekali merdeka--merdekat sekali. Berkeadilan, saling percaya, saling toleran, dan sejahtera, sebagaimana menjadi tujuan bernegara, tentu saja kurang relevan mendikotomi demokrasi vs otoriter. Secara empiris, tidak ada sistem demokrasi yang bisa langgeng jika tidak mengadopsi prinsip otoriter. Sebaliknya, tidak ada sistem otoriter yang bisa langgeng jika tidak mengadopsi prinsip demokrasi.

Bila Wibowo belum menawarkan alternatif di luar demokrasi, maka saya masih tetap berharap sekalipun dengan celah yang sangat kecil bahwa demokrasi di republik ini masih mungkin dikembangkan. Selain kelemahannya, masih ada nilai demokrasi yang berlangsung dalam tradisi kebudayaan masyarakat di Indonesia. Terutama pada masyarakat yang secara historis tidak akrab dengan sistem pemerintahan terpusat, seperti tradisi di sebagian besar masyarakat di Sumatera dan Indonesia Timur yang cenderung merupakan fragmented societies yang pemerintahan tradisionalnya dibangun berdasarkan konfederasi marga dan kampung.

Dalam masyarakat seperti ini, pemimpin (raja) yang culas, korup, dan semena-mena bisa dibubarkan rakyat pemerintahannya dengan cara meninggalkan sang raja sehingga raja menjadi bengong sendiri karena tidak punya rakyat. Kondisi demikian kira-kira akan sama jika satu saat sistem pemilu kita sudah menganut sistem distrik, di mana pemimpin yang culas dan korup bisa langsung ditinggalkan rakyat, bukan seperti sistem proporsional terbuka sekarang yang anomali dari tradisi kebudayaan kita.

Dalam sistem distrik, representasi etnis dalam sistem politik akan lebih jelas dan terukur. Faktor representasi etnis ini penting mendapat perhatian mengingat Indonesia dibangun dari ratusan kelompok etnis. Banyaknya gejolak etnisitas (kedaerahan) seperti tuntutan merdeka dan membentuk provinsi atau kabupaten baru, bahkan suatu kelompok etnis merasa terjadi internal colonization, seperti istilah "Indonesia Jawa" untuk menyebut RI oleh aktivis Aceh Merdeka, lebih didorong oleh faktor tersebut. Mungkin sistem distrik inilah kelak pranata demokrasi yang bisa sedikit memberi celah baru bagi penyehatan demokrasi Indonesia melengkapi pranata pemilihan presiden langsung dan otonomi daerah, selain tentunya menyembuhkan satu penyakit kronis yang lain, yakni korupsi.

Tak pelak lagi, carut-marut demokrasi kita bersumber dan memang merupakan sumber dari segala sumber kebobrokan bangsa ini adalah korupsi. Sebagian besar rakyat tidak terlalu pusing dengan sistem otoriter atau demokrasi. Berbagai literatur dan dokumen memperlihatkan penumbangan rezim Orde Lama (Sukarno) serta Orde Baru (Soeharto) ternyata tidak genuine kebutuhan rakyat Indonesia. Semua sarat rekayasa internasional dalam rangka perebutan pengaruh di kalangan rezim yang sedang dan akan berkuasa. Rakyat kebanyakan sekarang menderita malu karena hidup di negara paling korup nomor enam di dunia, semua karena korupsi.

Semua orang tahu, semakin kecil kuantitas dan kualitas korupsi suatu bangsa, semakin dekat mereka mencapai tujuan bernegara itu. Pertanyaannya kemudian adalah jika perilaku korupsi berurat akar dalam nilai dan tradisi masyarakat, bagaimana kemudian korupsi bisa diberantas, apalagi kalau yang bertugas memberantasnya juga terlibat? Jawabannya meminjam Montaner (2000), tak ada jalan keluar kecuali berharap kepada segelintir orang yang berani bekerja keras mengubah sikap dan nilai budaya tradisional yang selama ini benar-benar telah menjadi penghambat kemajuan demokrasi dan kesejahteraan bangsa ini.

www.kompas.com
Amir Nadapdap Pengajar Fisip Universitas Sumetara Utara



loading...

FANSUR Designed by Templateism | Blogger Templates Copyright © 2014

Theme images by richcano. Powered by Blogger.